Kekuasaan Kehakiman dan
Politik
Selama
ini berlaku hukum yang tidak tertulis bahwa hakim agar dapat melaksanakan
fungsinya sebagai pihak yang objektif dan tidak memihak pada siapapun dan
seharusnya tidak berpolitik. Bukan hanya hakim saja, peradilanpun juga tidak
boleh berpolitik. Namun, saat ini pendapat tersebut sudah tidak dapat
dipertahankan lagi, oleh karena demikian beberapa ahli hukum dalam praktek
Hakim mau tak mau harus berpolitik jika ia tidak ingin tergilas oleh politik
itu sendiri. Jenis politik yang dimaksud di sini bukanlah berarti politik pada
suatu partai tertentu, akan tetapi politk dalam arti luas, politik-pemerintah,
politik-sosial, kebijaksanaan-masyarakat.
Seorang
hakim memiliki dua tugas pokok utama, pertama
menentukan adanya sesuatu “feit”
dan kedua menerapkan hukum dan
undang-undang terhadap feit yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugas yang
pertama, hakim bersikap zakelijk dan berpolitik,
akan tetapi dalam menerapkan hukum dan undang-undang, ia juga berkewajiban
memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup maka secara langsung hakim
mengintrodusir unsur politik ke dalam penerapan hukum. Misalnya hakim dalam
memilih hukuman badan dengan variasinya antara maksimum dan minimum menjalankan
politik. Hukuman berat sebagai general-preventie
terhadap delik-delik tertentu tanpa merubah undang-undang yang bersangkutan
adalah politik-sosial, contoh-contoh kongkrit ialah dalam pemberantasan
penyelundupan dan narkotika.
Begitu
juga dalam hukum perdata, dimana hakim harus menggali-menemukan-merumuskan
nilai-nilai politik yang hidup, hakim berpolitik juga. Misalnya saja
pengertian-pengertian sebagai “keteledoran dalam lintas kemasyarakatan” (on-zorgvuldigheid in het maatschappelijk
verkeer), tinggi-rendahnya kewajiban (alimentatie)
dalam suatu perceraian, penyalahgunaan kekuasaan (misbruik van gezag), segala sesautu tersebut adalah pengertian-pengertian
tertentu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Jika hakim mengakhiri
sesuatu sengketa ataupun ia mengadakan perdamaian dengan berpedoman pada
pengertian-pengertian sosial tersebut, maka hakim tersebut telah mengintrodusir
unsur-unsur politik ke dalam putusannya.
Lokakarya
“Pembangunan Hukum melalui Peradilan” yang diadakan di Batu telah mengambil
keputusan antara lain bahwa dalam menghadapi UU No. 11/PNPS/1963 tentang
pemberantasan kegiatan subversi kepada hakim seharusnya diserahkan suatu
kebijaksanaan, suatu ruang gerak yang cukup luas untukmenetapkan dalam situasi
yang kongkrit, apakah yang menjadi hukum mengenai tindak pidana tersebut.
Hakim
harus mengadakan pembatasan terhadap perumusan delik sehingga merupakan
penghalusan hukum dan dalam perkara subversi pembatasan tersebut dikaitkan
dengan sifat politik meliputi politik dalam bidang perekonomian, keuangan,
kebudayaan, dan lain-lain. Mungkin dalam bentuk motif, tujuan, latar belakang
poltik dari pelaku yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Selanjutnya
lokakarya tersebut telah memutuskan bahwa hakim dalam mengadili perkara tindak
pidana ekonomi dapat mengintregrasikan
tindak pidana tersebut dengan sifat politik, tujuan, motif atau latar
belakang poltik dari tindak pidana subversi.
Terhadap
sifat provisori transitoir dari
undang-undang subversi demikian keputusan tersebut, maka selnjutnya hakim dapat
mempergunakan penafsiran futuristis
atau anticiperend ke arah
penguarangan sifat ekseptionalistis dalam undang-undang sekarang. Sedangkan dalam
pertimbangan berat-ringannya hukuman, hakim harus melihat situasi politik yang
tercantum dalam UU subversi dan pasal 4 UU No.5/1969.
Keputusan
lokakarya tersebut jelas mengandung suatu sikap bahwa dalam menghadapi
perkara-perkara subversi, hakim harus berpolitik, baik melalui penafsiran
hukum, melalui pembatasan terhadap perumusan delik maupun pengintegrasian sifat
politik dari pada undang-undang tersebut dalam mengadili perkara ekonomi. Penegasan
kembali oleh ketua MA pada pembukaan symposium hukum mengenai “Hubungan MA dan
Peradilan Umum” bahwa hakim merupakan penggali dan perumus nilai-nilai yang
hidup dan bahwa hakim harus mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan
adalah pengarahan pada hakim berpolitik.
“Politieke rechtspraak” ataupun hakim
berpolitik adalah bukan sesuatu yang tabu lagi. Kekuasaan kehakiman adalah organ
negara dan suatu badan yang tidak terlepas dari dan tanpa ikatan dengan
masyarakat dengan fungsi yang umum (openbarefunctie),
maka kita akan mengakui bahwa badan tersebut dalam menjalankan fungsinya adalah
sebenarnya berpolitik dalam arti luas.
Seorang
hakim yang baik tentunya akan mengenyampingkan perasaan dan pendapat pribadinya
mengenai isi dari pada sesuatu UU dan mana yang baik menurut politik, namun ia
harus sadar bahwa apa kata hati nuraninya merupakan sesuatu yang mengandung
unsur politik pula karena ia pun ditempa oleh masyarakat.
Krisis
kepercayaan terhadap peradilan pada umumnya disebabkan karena dalam menerapkan
hukum hakim masih konservatif, tidak mau menerima malahan menentang
perubahan-perubahan di luar gedung peradilan, baik dalam bidang formalitas
maupun dalam bidang materiil. Sedabgkan dalam penemuan hukum ia sukar mengadakan
fungsinya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Sumber : Buku dengan judu : Beberapa Aspek Hukum Materiil dan
Hukum Acara dalam Praktek, karangan : Jhon Z. Loudoe, S.H. (hlm 35)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar