Selasa, 29 Mei 2012

Pajak Penghasilan (PPh)

I.                   Pengertian PPh

PPh (Pajak Penghasilan) ialah pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi penghasilan tidak kena pajak. Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak sejak didirikan atau bertempat berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perbedaan yang penting antara wajib pajak dalam negeri dengan luar negeri, yakni :
·      Wajib pajak dalam negeri dikenal pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penhasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

·      Wajib pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penhasilan netto dengan tarif umum, sedangkan wajib pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penhasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.


·      Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan wajib pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Pengertian PPh dalam UU PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Dilihat dari tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dikelompokkan menjadi :
        i.            Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
      ii.            Penghasilan dari usaha dan kegiatan.
    iii.            Penghasilan dari modal, berupa harta bergerak maupun tidak bergerak.
    iv.            Penghasilan lain-lain, seperti pembebanan hutang dan hadiah.

II.                   Pajak Penghasilan (PPh) terbagi atas :
1.             PPh Pasal 21/26
2.             PPh Pasal 23/26
3.             PPh Pasal 22
4.             PPh Final

Pajak Penghasilan terdiri atas PPh yang dibayar sendiri yakni PPh pasal 25/29 dan PPh yang dipotong/dipungut pihak lain yakni  PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Final. Dasar hukum Pajak Penghasilan adalah UU No.28 Tahun 2007, UU No.36 Tahun 2008, Peraturan Menteri Keuangan: 250/PMK.03/2008, Peraturan Dirjen Pajak:  PER-31/PJ/2009, Peraturan Dirjen Pajak: PER-32/PJ/2009.


·      PPh Pasal 21/26
Yakni pajak penghasilan yang sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak orang pribadi. Dimana penhasilan tersebut berupa gaji, upah, honorarium (Wajib Pajak dalam negeri, PPh Pasal 21) dan, tunjangan, pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun (Wajib Pajak luar negeri, PPh Pasal 26).

·      Penghitungan PPh Pasal 21
Penghasilan bruto (gaji, tunjangan terikat dengan gaji) dikurangi biaya jabatan yakni 5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp 6.000.000,-/tahun atau Rp 500.000,-/bulan dan iuran yang terikat dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun, badan penyelenggara tabungan hari tua (THT) atau jamina hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun. Dimana semua ini disebut dengan penghasilan netto dikurangi PTKP yang disebut penghasilan kena pajak dan dikalikan sesuai tarif pada pasal 17 UU PPh.

·      Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26
Bagi PNS adalah gaji/tunjangan terkait dengan gaji; selain gaji/tunjangan terkait dengan gaji. Sedangkan bagi non PNS yakni pegawai honorer; penerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, upah satuan; penerima honorarium, serta imbalan lainnya.

·      Penghasilan yang tidak kena pajak
ü   Diri pegawai Rp 15.840.000/tahun atau Rp 1.320.000/bulan
ü   Tambahan untuk pegawai yang kawin Rp 1.320.000/tahun atau Rp 110.000/bulan
ü   Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurut serta anak angkat yang ditanggung sepenuhnya, maksimal 3 orang Rp 1.320.000/tahun atau Rp 100.000/bulan

·      Tarif pajak wajib pajak orang pribadi (pasal 17 ayat 1a UU No.36/2008 (UU PPh)
Ketentuan (mulai tahun pajak 2009) lapisan penhasilan s.d Rp 50.000.000,- tarif 5%, diatas Rp 50.000.000,- s.d Rp 250.000.000,-  tarif 15%, diatas Rp 250.000.000,-  s.d Rp 500.000.000,-  tarif 25%, dan diatas Rp 500.000.000,-  tarif 30%.

·      Penghitungan PPh
Atas penghasilan berupa upah harian, mingguan, satuan, borongan, dan uang saku harian. Dalam upah lebih dari Rp 1.320.000,- dalam sebulan (PPh/hari= <upah perhari-PTKP harian> x 5%. Dalam upah kurang dari Rp 1.320.000,- dalam sebulan : lebih dari Rp 150.000,- (PPh/hari = <upah/hari-150.000> x 5% ; diatas Rp 150.000,- tidak dipotong PPh (pasal 21).

·         Penghitungan pasal 21
Honorarium, uang saku, hadiah dan penghargaan dengan nama apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun yakni wajib pajak dalam negeri diterapkan tarif pasal 17 UU PPh dikali penghasilan bruto ( wajib pajak dalam negeri).
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, aktuaris yakni perkiraan penghasilan netto 50% dari jumlah bruto (tarif pasal 17 dari perkiraan penghasilan netto).
Hadiah dari penghargaan perlombaan dengan nama/bentuk apapun dikenakan kepada peserta perlombaan dengan tarif 5% dari penghasilan bruto, dimana bersifat final.

·         Tata cara pelaporan PPh pasal 21
a.       Tidak dipertanggung pemerintah, dengan SPT masa PPh pasal 21 ke KPP/KAPENPA, paling lambat tgl 20 bulan takwin berikutnya. Jika jatuh pada hari libur maka dapat dibayarkan pada hari kerja berikutnya.
b.      Ditanggung pemerintah, dengan melaporkan penghitungan PPh pasal 21 dalam daftar gaji berupa KPPN.

·                PPh Pasal 22
·                Mengenai tarif dan saat pemungutan. Tarif pajak ialah 1,5% dikali harga pembelian diluar PPN dilakukan saat pembayaran. Kriteria khusus jika rekana tidak memiliki NPWP tarifnya menjadi 100% lebih tinggi.
·                PPh pasal 22 mengenai pemungutan dan penyetoran
Yakni dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran yang disetor ke bank Persepsi/PT.Pos Indonesia lalu menerima Surat Setoran Pajak yang diisi oleh dan atas nama rekanan dan ditandatangani oleh pemungut.
·                PPh pasal 22 mengenai pelaporan
Yakni SPT masa PPh pasal 22 dibayar ke KPP Pratama/KP2KP selambat-lambatnya 14 hari setelah bulan takwin berakhir. Namun jika jatuh pada hari libur dapat dilaporkan pada hari kerja berikutnya.

·                PPh Pasal 23
·                Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
·                Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.
·                Perubahan tarif PPh pasal 23 yakni KEP-170/PJ/2002 berlaku 1 Mei 2002, PER-178/PJ/2006 berlaku 1 Januari 2007, PER-70/PJ/2007 berlaku 9 April 2007, UU No.36/2008, 244/PMK.03/2008 berlaku 1 Januari 2009.
·                Objek dan Tarif pajak
Hadiah dan penghargaa, deviden, bunga dan royalti dikenakan tarif 15% dari penghasilan bruto. Dan biaya sewa (selain tanah/bangunan) dan jasalainnya yakni dikenakan tarif 2% dari penghasilan bruto.


1.               Sebesar 15% dari jumlah bruto

a.
dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;

b.
bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";

c.
royalti;

d.
hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf "e" Undang-undang PPh. Hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 21 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalkan kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya. Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2.
Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
3.
Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :

a.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;

b.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c" Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.








·           Bukan objek pajak

1.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usahaa dengan hak opsi;
3.
dividen atau bagian laba yang diterimaa atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat :

a.
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

b.
bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
4.
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha:
5.
bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a.
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan

b.
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
6.
Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7.
bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan telah ditetapkan batas jumlah sebesar Rp. 240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 240.000,00 dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.

·                Tata cara pemotongan
Dilakukan pada saat membayarkan penghasilan oleh pemotong, kemudian wajib pajak mendapatkan bukti pemotongan yakni untuk rekanan, lampiran SPT PPh pasal 23, dan arsip pemotong.
·                Tata cara penyetoran
Yakni jumlahkan PPh pasal 23 berdasarkan bukti pemotongan selama satu bulan takwin lalu disetorkan ke bank Persepsi atau kantor pos dan giro dengan menggunakan SSP. Disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Apabila jatuh pada hari libur dapat disetorkan pada hari kerja berikutnya.
·                Tata cara pelaporan
Yakni mengisi dengan lengkap dan benar SPT masaPPh pasal 23/26 rangkap 2. Dan melampirkan lembar ke-3 SSP bukri setoran PPh psl 23/26, daftar surat bukti pemotongan PPh pasal 23/26, dan lembar ke-2 bukti pemotongan ke KPP Pratama/KP2KP selambat-lambatnya 20 hari setelah bulan takwin berakhir. Jika jatuh pada hari libur dapat disetorkan pada hari kerja berikutnya.
·                besarnya PTKP untuk diri pegawai, tambahan untuk pegawai yang kawin, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang
-          Untuk diri pegawai
setahun = Rp 2.880.000,00
sebulan = Rp 240.000,00
Tambahan untuk pegawai yang kawin setahun = Rp 1.440.setahun = Rp 2.880.000,00 sebulan.
-          Tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain Rp. 2.880.000,00.
-          Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang setiap keluarga Rp 1.440.000,00

Ø   PPh Final, PPh Pasal 4 (2)
·                Pengertian PPh Final
Yakni pendapatan yang menjadi objek pemotongan pajak PPh tidak perlu dihitung kembali pada akhir tahun pajak dalam menghitung PPh Badan atau PPh yang dipotong tidak dapat dijadikan kredit pajak dalam menghitung PPh badan.
·                Pengertian PPh tidak Final
Yakni pendapatan yang menjadi objek pemotongan PPh dihitung kembali pada akhir tahun pajak dalam menghitung PPh badan dan PPh yang dipotong dapat dijadika kredit pajak dalam menghitung PPh badan.
·                PPh Pasal 4 (2) / Final
Bagi jasa konstruksi yakni berupa jasa pelaksanaan 2%, 3%, 4% dan jasa perencanaan/jasa pengawasan 2%.
Sewa tanah/bangunan sebesar 10%, pengalihan hak atas tata ruang dan bangunan sebesar 5% dengan ketentuan nilai diatas Rp 60 jt, dan hadiah undian sebesar 25%.
·                Bukan objek pajak penghasilan
Pelayanan yang disediakan hotel dan restoran (pajak daerah) :
-          Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek.
-          Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan.
-          Jasa persewaan ruang untuk kegiatan acara atau kegiatan atau pertemuan hotel.
·                Pelunasan Pajak
Bagi penyewa :
-          Orang pribadi yakni bukan bukan subjek pajak melakukan pembayaran sendiri oleh orang yang menyewakan
-          Orang pribadi yang ditetapkan oleh dirjen pajak (KEP/30 PJ/1996) yakni badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri yang dilakukan pemotongan oleh penyewa.


Selasa, 22 Mei 2012

Kekuasaan Kehakiman dan Politik

Kekuasaan Kehakiman dan Politik

Selama ini berlaku hukum yang tidak tertulis bahwa hakim agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai pihak yang objektif dan tidak memihak pada siapapun dan seharusnya tidak berpolitik. Bukan hanya hakim saja, peradilanpun juga tidak boleh berpolitik. Namun, saat ini pendapat tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena demikian beberapa ahli hukum dalam praktek Hakim mau tak mau harus berpolitik jika ia tidak ingin tergilas oleh politik itu sendiri. Jenis politik yang dimaksud di sini bukanlah berarti politik pada suatu partai tertentu, akan tetapi politk dalam arti luas, politik-pemerintah, politik-sosial, kebijaksanaan-masyarakat.
Seorang hakim memiliki dua tugas pokok utama, pertama menentukan adanya sesuatu “feit” dan kedua menerapkan hukum dan undang-undang terhadap feit yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugas yang pertama, hakim bersikap zakelijk dan berpolitik, akan tetapi dalam menerapkan hukum dan undang-undang, ia juga berkewajiban memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup maka secara langsung hakim mengintrodusir unsur politik ke dalam penerapan hukum. Misalnya hakim dalam memilih hukuman badan dengan variasinya antara maksimum dan minimum menjalankan politik. Hukuman berat sebagai general-preventie terhadap delik-delik tertentu tanpa merubah undang-undang yang bersangkutan adalah politik-sosial, contoh-contoh kongkrit ialah dalam pemberantasan penyelundupan dan narkotika.
Begitu juga dalam hukum perdata, dimana hakim harus menggali-menemukan-merumuskan nilai-nilai politik yang hidup, hakim berpolitik juga. Misalnya saja pengertian-pengertian sebagai “keteledoran dalam lintas kemasyarakatan” (on-zorgvuldigheid in het maatschappelijk verkeer), tinggi-rendahnya kewajiban (alimentatie) dalam suatu perceraian, penyalahgunaan kekuasaan (misbruik van gezag), segala sesautu tersebut adalah pengertian-pengertian tertentu yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Jika hakim mengakhiri sesuatu sengketa ataupun ia mengadakan perdamaian dengan berpedoman pada pengertian-pengertian sosial tersebut, maka hakim tersebut telah mengintrodusir unsur-unsur politik ke dalam putusannya.
Lokakarya “Pembangunan Hukum melalui Peradilan” yang diadakan di Batu telah mengambil keputusan antara lain bahwa dalam menghadapi UU No. 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi kepada hakim seharusnya diserahkan suatu kebijaksanaan, suatu ruang gerak yang cukup luas untukmenetapkan dalam situasi yang kongkrit, apakah yang menjadi hukum mengenai tindak pidana tersebut.
Hakim harus mengadakan pembatasan terhadap perumusan delik sehingga merupakan penghalusan hukum dan dalam perkara subversi pembatasan tersebut dikaitkan dengan sifat politik meliputi politik dalam bidang perekonomian, keuangan, kebudayaan, dan lain-lain. Mungkin dalam bentuk motif, tujuan, latar belakang poltik dari pelaku yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut. Selanjutnya lokakarya tersebut telah memutuskan bahwa hakim dalam mengadili perkara tindak pidana ekonomi dapat mengintregrasikan  tindak pidana tersebut dengan sifat politik, tujuan, motif atau latar belakang poltik dari tindak pidana subversi.
Terhadap sifat provisori transitoir dari undang-undang subversi demikian keputusan tersebut, maka selnjutnya hakim dapat mempergunakan penafsiran futuristis atau anticiperend ke arah penguarangan sifat ekseptionalistis dalam undang-undang sekarang. Sedangkan dalam pertimbangan berat-ringannya hukuman, hakim harus melihat situasi politik yang tercantum dalam UU subversi dan pasal 4 UU No.5/1969.
Keputusan lokakarya tersebut jelas mengandung suatu sikap bahwa dalam menghadapi perkara-perkara subversi, hakim harus berpolitik, baik melalui penafsiran hukum, melalui pembatasan terhadap perumusan delik maupun pengintegrasian sifat politik dari pada undang-undang tersebut dalam mengadili perkara ekonomi. Penegasan kembali oleh ketua MA pada pembukaan symposium hukum mengenai “Hubungan MA dan Peradilan Umum” bahwa hakim merupakan penggali dan perumus nilai-nilai yang hidup dan bahwa hakim harus mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan adalah pengarahan pada hakim berpolitik.
Politieke rechtspraak” ataupun hakim berpolitik adalah bukan sesuatu yang tabu lagi. Kekuasaan kehakiman adalah organ negara dan suatu badan yang tidak terlepas dari dan tanpa ikatan dengan masyarakat dengan fungsi yang umum (openbarefunctie), maka kita akan mengakui bahwa badan tersebut dalam menjalankan fungsinya adalah sebenarnya berpolitik dalam arti luas.
Seorang hakim yang baik tentunya akan mengenyampingkan perasaan dan pendapat pribadinya mengenai isi dari pada sesuatu UU dan mana yang baik menurut politik, namun ia harus sadar bahwa apa kata hati nuraninya merupakan sesuatu yang mengandung unsur politik pula karena ia pun ditempa oleh masyarakat.
Krisis kepercayaan terhadap peradilan pada umumnya disebabkan karena dalam menerapkan hukum hakim masih konservatif, tidak mau menerima malahan menentang perubahan-perubahan di luar gedung peradilan, baik dalam bidang formalitas maupun dalam bidang materiil. Sedabgkan dalam penemuan hukum ia sukar mengadakan fungsinya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Sumber : Buku dengan judu : Beberapa Aspek Hukum Materiil dan Hukum Acara dalam Praktek, karangan : Jhon Z. Loudoe, S.H. (hlm  35)